Zaini, Ahmad (2018) Kedudukan Perempuan Sebagai Saksi Pernikahan Menurut Ibnu Hazm dan Relevansinya dengan KHI. Undergraduate thesis, Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember.
Text
Ahmad Zaini_083 141 045.pdf Download (3MB) |
Abstract
Saksi adalah orang yang mengemukakan keterangan untuk menetapkan hak atas orang lain. Oleh karena itu, kesaksian merupakan hal yang sangat penting sekali dalam hal menetapkan suatu peristiwa. Apabila kesaksian ini dijalankan dengan lurus oleh setiap pribadi yang bersangkutan, maka masyarakat secara luas juga akan terhindar dari bencana ketidakadilan dan kecurangan. Dalam hal tentang saksi ini pasti adanya syarat dan rukun yang harus dipenuhi dalam peristiwa apapun, khususnya ketika menjadi saksi pernikahan. Ibnu Hazm yang memiliki pemikiran berbeda dari Ulama yang lain bahwasanya kedudukan perempuan setara dengan laki-laki dalam ranah publik. Begitu juga dalam saksi pernikahan. hal ini diperkuat dengan pandangan Ibnu Hazm terhadap perempuan dalam konteks sekarang lebih responsif Gender dan lebih bisa diterima dikalangan para cendekiawan muslim kontemporer. Fokus masalah yang diteliti dalam skripsi ini adalah : 1) Bagaimana kedudukan perempuan sebagai saksi pernikahan menurut Hukum Islam? 2) Bagaimana kedudukan perempuan sebagai saksi pernikahan menurut Ibnu Hazm? 3) Bagaimana relevansinya kedudukan perempuan sebagai saksi pernikahan menurut Ibnu Hazm dan KHI?. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pendapat Ibnu Hazm tentang kedudukan perempuan sebagai saksi pernikahan dan menemukan relevansinya dengan KHI. Peneliti menggunakan jenis penelitian kepustakan atau studi pustaka (library research) dengan pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan konseptual (conseptual approach), yang dilakukan manakala peneliti tidak keluar dan beranjak dari hukum yang ada. Adapun teknik pengumpulan datanya adalah dengan menggunakan teknik dokumentasi. Penelitian ini memperoleh kesimpulan yaitu : 1) Kedudukan perempuan sebagai saksi pernikahan menurut hukum islam ialah Jumhur Ulama menyatakan bahwa perempuan tidak diperbolehkan menjadi saksi dalam hudud. Malik, Syafi’i, memperbolehkan kesaksian seorang laki-laki dan dua orang perempuan dalam hal harta benda, akan tetapi kesaksian wanita tidak diterima dalam hal hukum badani seperti hudud, qishash, nikah, thalaq, dan rujuk; 2) Kedudukan perempuan sebagai saksi pernikahan menurut Ibnu Hazm ialah Berbeda dengan para Jumhur Ulama terhadap kebolehan wanita menjadi saksi dalam perkara tertentu, yaitu perkaraperkara yang menurut kebiasaan yang tidak bisa diketahui oleh lelaki. Ibnu Hazm memiliki pendangan bahwa kesaksian wanita dapat diterima semua hal, sebagaimana kesaksian laki-laki dalam berbagai peristiwa hukum khususnya dalam saksi pernikahan. 3) Relevansi kedudukan perempuan sebagai saksi pernikahan menurut Ibnu Hazm dan KHI adalah relevan antara pendapat Ibnu Hazm dan KHI. Akan tetapi Ibnu Hazm menerima kesaksian perempuan dalam semua perkara dan dalam KHI sendiri yang menjadi rujukannya adalah Kitab Imam Syafi’i dan juga pemikiran dari Imam Hanafi, Maliki dan Hambali, sehingga ada batasan terkait perempuan sebagai saksi.
Item Type: | Thesis (Undergraduate) |
---|---|
Subjects: | 18 LAW AND LEGAL STUDIES > 1801 Law > 180199 Law not elsewhere classified |
Divisions: | Fakultas Syariah > Ahwal As-Syakhsyiyyah |
Depositing User: | Ms Diva Magang |
Date Deposited: | 14 Feb 2023 07:17 |
Last Modified: | 14 Feb 2023 07:17 |
URI: | http://digilib.uinkhas.ac.id/id/eprint/18771 |
Actions (login required)
View Item |