ADA tiga sirkuit besar dalam serangkaian kegiatan halaqah fiqih peradaban NU yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya, yaitu fikih peradaban, fikih siyasah (politik), dan negara bangsa. Fikih peradaban adalah konsep hukum Islam yang dikembangkan NU, yang menekankan pada prinsip keberagaman, toleransi, dan musyawarah. Konsep itu mencakup beberapa aspek, termasuk fikih siyasah dan negara bangsa.
Fikih siyasah dapat dipahami sebagai cabang ilmu hukum Islam yang berkaitan dengan pemerintahan dan politik.
Dalam konteks fikih peradaban, fikih siyasah diartikan sebagai pandangan tentang bagaimana seharusnya hubungan antara pemerintah dan rakyat, serta bagaimana seharusnya pemerintah melakukan tugasnya dalam menjalankan kebijakan publik dan hukum negara. Fikih peradaban NU menekankan pentingnya keberagaman dan toleransi, dalam mengelola negara sehingga negara dapat memberikan kesempatan yang sama bagi semua warga negara tanpa terkecuali.
Fikih siyasah bukan barang baru bagi kalangan NU dan pesantren. Karena, biasa dikaji secara bersama-sama di kelas madin (madrasah diniah), tapi secara praktik belum teraktualisasikan dengan konteks baru. Gagasan fikih siyasah dalam konteks peradaban baru yang digagas NU mencoba mengaktualisasikan konsep-konsep teoritis dalam fikih siyasah, dengan mengadopsi nilai-nilainya dalam konteks negara di tingkat nasional, bahkan internasional.
Selama ini, fikih siyasah yang dikaji di beberapa kitab primer karya para ulama terdahulu memiliki konteks khusus tertentu, yaitu konteks ulama itu lahir dan tinggal. Visi dan nilai-nilainya diserap, diangkut dan digodok secara matang dan mapan melalui fikih siyasah dan fikih peradaban dengan memasukkan kontektualisasi baru.
Negara bangsa merupakan sebuah konsep politik, yang menempatkan identitas nasional sebagai hal yang penting dalam menjalankan urusan pemerintahan. Dalam konteks fikih peradaban NU, negara bangsa dipandang sebagai sebuah kerangka politik yang memungkinkan adanya kerja sama antara negara, dan warga negara yang memiliki keberagaman.
Konsep negara bangsa dalam fikih peradaban NU, menekankan pentingnya pengakuan secara sadar dan penghargaan terhadap keragaman etnis, agama, budaya, dan bahasa, serta pemberdayaan seluruh warga negara untuk bersama-sama membangun negara yang berkeadilan dan sejahtera.
Apa yang menjadi konsentrasi NU ini, nilai-nilainya memiliki kesamaan dengan nilai-nilai Pancasila. Hal ini semakin memperkuat bahwa Pancasila, meski tidak lahir dari entitas agama, tetapi mencirikan inisial dari agama itu sendiri. Nilai-nilai esensi Pancasila tidak mungkin ditolak oleh agama mana pun sebab semua agama menyetujui konsep kebertuhanan, keberadilan, kemanusiaan, persatuan, dan musyawarah.
MI/Duta
Titik jumpa fikih peradaban NU dengan Pancasila
Ada beberapa titik perjumpaan antara fikih peradaban NU dan Pancasila, terutama dalam hal nilai-nilai yang dianut keduanya. Pertama, keberagaman. Baik fikih peradaban NU maupun Pancasila mengakui pentingnya keberagaman sebagai aspek penting dari masyarakat yang inklusif. NU mengajarkan prinsip-prinsip toleransi, dan kerukunan antara umat beragama, sedangkan Pancasila menekankan pentingnya Bhinneka Tunggal Ika atau persatuan dalam keragaman.
Tamsil nyata dari keberagaman dalam konteks kekinian dapat dilihat baik dari berbagai upaya masyarakat, organisasi, maupun pemerintah dalam menjaga dan mempromosikan kerukunan antarumat beragama di Indonesia.
Pemilu dan pilkada serentak merupakan ajang demokrasi yang sangat penting di Indonesia. Selama proses pemilihan, masyarakat dari berbagai latar belakang dan agama memiliki hak sama untuk memilih calon yang dianggap sesuai keinginan dan aspirasi mereka.
Proses pemilihan yang adil dan transparan dapat membantu mengurangi ketegangan antarumat beragama dan memperkuat persatuan dan kerukunan. Pemerintah dan masyarakat Indonesia juga secara luas merayakan berbagai hari raya keagamaan, termasuk Idul Fitri dan Idul Adha, Natal, Waisak, Nyepi, Cap Go Meh, dsbnya.
Kedua, keadilan. Fikih peradaban NU dan Pancasila sama-sama menekankan pentingnya keadilan dalam kehidupan bermasyarakat. NU memandang keadilan sebagai salah satu prinsip dasar dalam ajaran Islam, sedangkan Pancasila menempatkan keadilan sosial sebagai salah satu butir dalam sila kelima.
Pada isu penegakan hukum, Pancasila dan fikih peradaban memiliki visi yang sama, yaitu keadilan sosial. Pemerintah dan aparat penegak hukum bekerja keras untuk menegakkan hukum dan menindak pelanggaran secara tegas, tanpa pandang bulu. Hal ini memastikan bahwa setiap orang, tanpa terkecuali, diperlakukan secara adil dan sesuai dengan hukum yang berlaku. Siapa yang salah, apa pun agamanya, apa pun pangkatnya, apa pun statusnya akan diberikan hukuman sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketiga, demokrasi. Meskipun mungkin dengan cara yang berbeda, fikih peradaban NU dan Pancasila sama-sama menekankan pentingnya demokrasi sebagai aspek penting dari pemerintahan yang baik. NU mengajarkan prinsip musyawarah sebagai cara untuk mencapai keputusan yang baik. Sementara itu, Pancasila menekankan pentingnya musyawarah untuk mufakat dalam menjalankan kebijakan publik.
Prinsip-prinsip demokrasi yang diterapkan dalam pemilu dan forum-forum musyawarah mencerminkan kesamaan dan titik perjumpaan antara Pancasila dan fikih peradaban NU dalam konteks kekinian. Kedua pandangan itu menekankan urgensi partisipasi masyarakat dan dialog, dalam mencapai kesepakatan yang baik dan menjalankan kebijakan publik yang adil dan demokratis.
Misalnya, sebelum pilpres dilaksanakan, terdapat proses kampanye yang dilakukan pasangan capres dan cawapres. Dalam kampanye ini, para pasangan calon berpartisipasi dalam debat publik, diskusi, dan pertemuan dengan masyarakat untuk memperkenalkan visi dan misi mereka.
Pada lingkup yang paling kecil, prinsip musyawarah dan mufakat juga diterapkan dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal, seperti dalam musyawarah desa/kelurahan atau musyawarah kecamatan. Dalam forum-forum ini, masyarakat setempat diajak untuk berpartisipasi dalam diskusi dan memberikan masukan mengenai kebijakan publik yang akan diambil pemerintah.
Keempat, nasionalisme. Meskipun dengan sudut pandang yang berbeda, fikih peradaban NU dan Pancasila sama-sama menempatkan nasionalisme sebagai aspek penting dari kehidupan bermasyarakat. NU mengajarkan prinsip kesetiaan kepada negara dan bangsa, sedangkan Pancasila menempatkan nasionalisme sebagai salah satu butirnya. Meskipun keduanya menggunakan bahasa yang berbeda, tetapi sama-sama menegaskan bahwa nasioalisme memiliki irisan dengan keimanan. Dalam bahasa NU, hubbul wathan minal iman. Sikap nasionalisme (bukan fanatisme) ialah bagian dari keimanan.
Kesadaran nasionalisme yang merupakan bagian dari keimanan ini dapat dilihat pada berbagai kegiatan masyarakat Indonesia yang menunjukkan rasa cinta dan kepedulian terhadap negara dan bangsa. Contohnya ialah partisipasi dalam pemilihan umum untuk memilih pemimpin negara yang dianggap mampu memajukan Indonesia, serta kegiatan-kegiatan sosial seperti bakti sosial, donasi untuk korban bencana alam, dan kegiatan lain yang bertujuan untuk membantu sesama di Indonesia.
Selain itu, kesadaran nasionalisme juga tecermin dalam upaya untuk melestarikan kebudayaan dan warisan sejarah Indonesia, seperti melalui pelestarian bangunan bersejarah, seni dan budaya, dan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang menjadi identitas bangsa Indonesia. Semua upaya ini menunjukkan kesadaran akan pentingnya nasionalisme sebagai bagian dari keimanan dalam kehidupan bermasyarakat.
Kelima, kemanusiaan. Fikih peradaban NU dan Pancasila sama-sama menekankan pentingnya kemanusiaan sebagai aspek penting dari kehidupan bermasyarakat. NU mengajarkan prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama, sedangkan Pancasila menempatkan kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai salah satu butirnya.
Visi kemanusiaan antara fikih peradaban dan Pancasila bisa ditemukan dalam berbagai kegiatan sosial yang dilakukan organisasi dan masyarakat di Indonesia. Misalnya, dalam bencana alam seperti gempa bumi atau banjir, masyarakat dari berbagai latar belakang, agama, dan suku saling membantu untuk membantu korban dan memulihkan daerah yang terdampak bencana.
NU dan organisasi sosial lainnya juga aktif dalam membantu masyarakat yang membutuhkan, seperti memberikan bantuan untuk kaum miskin, anak yatim piatu, dan korban kekerasan. Dalam aksi-aksi sosial itu, prinsip kemanusiaan menjadi landasan utama dalam membantu sesama tanpa memandang latar belakang agama, suku, atau status sosial.
Selain itu, dalam konteks penanganan pandemi covid-19, banyak masyarakat dan organisasi yang bekerja sama untuk memberikan bantuan dan dukungan kepada masyarakat yang terdampak. Dalam hal ini, prinsip kemanusiaan dan kasih sayang yang diusung NU dan Pancasila menjadi penting dalam membantu masyarakat yang membutuhkan. Terutama, mereka yang terdampak secara ekonomi dan kesehatan akibat pandemi.
Kini, di bulan suci Ramadan ini, nilai-nilai tersebut, terutama nilai kemanusiaan, perlu semakin diperkuat aktualisasinya di Tanah Air di tengah kondisi dunia yang sedang terimbas krisis global. Sebagaimana seruan KH Abdurrahman Wahid, "Mari kita wujudkan peradaban di mana manusia saling mencintai, saling mengerti, dan saling menghidupi.”