Dalam nomenklatur Hukum Islam ada istilah yang disebut dengan Hukum Ta’aqquli (rasional-ilmiah) dan Hukum Ta’abbudi (dogmatis). Hukum Islam dapat dianggap sebagai hukum ta'aqquli apabila metode pelaksanaannya dapat diterima oleh akal pikiran. Dampaknya, instrumen yang digunakan untuk mencapai tujuan hukum tersebut dapat diubah sesuai dengan konteks kemaslahatan.
Sementara itu, hukum dianggap sebagai hukum ta'abbudi ketika instrumen dan metodenya tidak dapat dimengerti oleh akal manusia. Sehingga alat yang digunakan untuk mencapai tujuan hukum tidak boleh diubah atau disesuaikan dengan doktrin awal hukum tersebut. Contoh sederhananya adalah hadas dan najis.
Hadas dikatakan hukum yang bersifat ta’abbudi karena entitasnya tidak dapat dimengerti secara akal kebanyakan. Yang mengeluarkan kentut apa yang disucikan apa, tidak ada kaitannya. Dengan demikian, instrumen untuk menghilangkan hadas tidak dapat diganti dengan apapun selain yang sudah digariskan dalam aturan syarak, misalnya disucikan dengan air dan/debu.
Pertanyaannya, Bagaimana dengan hukum (mengetahui) awal atau akhir Ramadan? Apakah iya termasuk ranah ta’abbudi atau ta’aqquli? Pertanyaan ini menarik sebab jawabannya memiliki pengikutnya sendiri-sendiri.
Bagi yang memiliki argumentasi penentuan Ramadan termasuk ta’abbudi karena tidak ada hubungan signifikan antara melihat bulan dan besok ganti bulan memiliki konsekuensi instrumen ilahiahnya tidak boleh diubah. Dalam hal ini, agama sudah memberikan petunjuk untuk melihat bulan (rukyat al-hilal), jika dalam kondisi tertutup awan mendung maka alternatif atau solusinya adalah menggenapkan bilangan bulan menjadi 30 hari. Jadi rukyat atau melihat dipahami sebagai “rukyah bashariyyah” (melihat bulan dengan mata telanjang). Pendapat ini memiliki pengikutnya sendiri termasuk di antaranya adalah warga Nahdliyyin (NU).
Adapun bagi mereka yang meyakini bahwa hukum penetapan awal bulan Ramadan atau Syawal itu termasuk hukum ta’aqquli karena dianggap dan diyakini memiliki rasionalitas yang cukup tinggi terlebih jika dikaitkan dengan teknologi, maka konsekuensi logis-legal dari itu adalah diperbolehkannya menggeser instrumen dari melihat bulan dengan “mata telanjang” dan digantikan melihat bulan dengan “hisab”. Jadi rukyat atau melihat dipahami sebagai “rukyah Ilmiah” (melihat bulan dengan perspektif Ilmiah). Pendapat ini memiliki pengikutnya sendiri termasuk di antaranya adalah warga Muhammadiyah (MD).
Dasar dan sumber pertimbangan masing-masing pengikut sebenarnya sama, yaitu hadis masyhur dari Imam Bukhari dan Imam Muslim dan hadis riwayat lain dengan narasi derivative. “Berpuasalah kamu ketika telah melihat hilal Ramadan dan berhentilah kamu berpuasa ketika telah melihat hilal bulan Syawal. Jika hilal tertutup bagimu maka genapkanlah bulan syakban menjadi 30 hari”.
Pemerintah sendiri, berlandaskan Fatwa MUI No. 2 Tahun 2004, mengaplikasikan metode kombinasi hisab dan rukyatul hilal dalam menentukan awal dan akhir Ramadan. Hasil perhitungan hisab dijadikan sebagai informasi pendahuluan yang kemudian dikonfirmasi melalui proses rukyat. Setelah itu, hasil hisab dan rukyat akan dibahas bersama organisasi-organisasi Islam, duta besar negara-negara sahabat, serta para ahli dalam Sidang Isbat.
Sebagai mediator, pemerintah juga terus mendorong penerapan metode "imkaan al-ru'yah" serta gencar mensosialisasikannya kepada seluruh organisasi kemasyarakatan. Langkah ini diharapkan dapat menciptakan pemahaman yang lebih baik mengenai penentuan awal dan akhir Ramadan, sekaligus meminimalisir perbedaan pendapat yang mungkin timbul di kalangan masyarakat.
Jika merujuk pada pandangan ulama mazhab, misalnya, para ulama dari mazhab Syafi'i yang berpendapat bahwa penentuan awal dan akhir bulan Ramadan harus dilakukan oleh pemerintah. Setelah penetapan dilakukan, masyarakat diharapkan untuk mematuhi keputusan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pandangan mazhab Syafi'i, peran pemerintah sangat penting dalam menentukan awal dan akhir Ramadan agar tercipta keseragaman dalam pelaksanaan ibadah puasa.
Di sisi lain, mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali tidak mengharuskan adanya penentuan awal dan akhir Ramadan oleh pemerintah. Akan tetapi, apabila pemerintah telah menetapkan keputusan tersebut, maka keputusan itu dianggap mengikat bagi seluruh masyarakat. Dalam konteks ini, ulama menegaskan bahwa umat Islam yang berada di wilayah pemerintah yang bersangkutan harus tunduk dan mengikuti keputusan yang telah ditetapkan oleh pihak berwenang.
Setiap zaman tentu memiliki ciri khas yang unik dan peradabannya sendiri, termasuk (peradaban Islam) di Indonesia. Peradaban di era empat mazhab bisa jadi ideal dalam masanya begitu juga dengan peradaban era dan konteks Indonesia. Sebagai negara yang memiliki populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia telah menjalani berbagai tahapan peradaban yang tercermin dalam beragam aspek kehidupan, termasuk dalam penentuan awal Ramadan. Perbedaan pendapat yang kerap terjadi dalam menentukan awal Ramadan, justru menunjukkan keberagaman dan toleransi yang dimiliki oleh umat Islam di Indonesia.
Keunikan dan identitas keragaman ini mencerminkan kekayaan tradisi dan kebudayaan yang telah dijaga oleh umat Islam di Indonesia sepanjang sejarah. Meskipun terdapat perbedaan dalam penentuan awal Ramadan, umat Islam di Indonesia tetap menjaga persatuan dan kebersamaan dalam melaksanakan ibadah puasa. Hal ini membuktikan bahwa keberagaman yang ada tidak menghalangi umat Islam di Indonesia untuk tetap bersatu dalam menjalankan ajaran agama. Sebaliknya, keberagaman ini semakin mengukuhkan identitas umat Islam Indonesia sebagai masyarakat yang toleran dan menghargai perbedaan pendapat
Muhammad Fauzinuddin Faiz (Dosen Fiqh/Ushul Fiqh UIN Kiai Haji Achmad Shiddiq & Ketua Lembaga Informasi, Komunikasi dan Publikasi Nahdlatul Ulama PCNU Jember)