22.9 C
Jember
Sunday, 9 April 2023

Peluang dan Tantangan, Ansor Menuju Satu Abad NU

Mobile_AP_Rectangle 1

Generasi muda adalah generasi penerus perjuangan bangsa, Sebagai pemegang kepemimpinan nasional, mereka harus menanamkan di dalamnya nilai-nilai budaya nasional yang benar, diterima, diikuti, dibela dan diperjuangkan. Generasi muda penerus bangsa juga memiliki keterampilan terpendam yang dapat diolah menjadi keterampilan nyata. Selain itu, mereka memiliki potensi kecerdasan intelektual, kecerdasan seni, emosional, sosial, dan bahasa, yang dapat mereka olah menjadi kecerdasan aktual yang
akan mengantarkan mereka pada pencapaian dan kesuksesan yang tinggi. Mereka memiliki potensi moral yang dapat diolah dan dikembangkan menjadi akhlak yang positif agar dapat berperan aktif dalam pembangunan negara dan bangsa yang jujur, tidak koruptif, kurang ajar, dan bertanggung jawab.
Melihat situasi saat ini, pemuda terpecah menjadi dua.

Pertama, pemuda yang bermoral namun tidak memiliki sosok panutan dan organisasi yang tepat sehingga dalam bergaul dan melangkah ia merasa paling benar atas dasar penafsiran tunggal. Biasanya secara sekilas ia tampak baik, berpakaian rapi, namun kerap kali melontarkan argumen dan pendapat yang terkesan Islami namun sejatinya sangat jauh dari nilai-nilai Islam. Misalnya mengatakan, “Indonesia ini tidak tepat jika menggunakan sistem demokrasi, sejarah Islam mencontohkan dengan sistem khilafah dan monarki”, atau “umat Islam kok menjaga gereja, mestinya masjid yang dijaga”. Kedua, pemuda yang amoral. Ada banyak penyimpangan moral di kalangan generasi muda seperti miras, tawuran pelajar dan seks bebas.
Masalah moral generasi muda telah menjadi masalah sosial yang belum sepenuhnya terselesaikan. Akibat yang ditimbulkan begitu serius sehingga tindakan tersebut telah mengarah pada tindakan kriminal dan tidak dapat lagi dianggap sebagai hal yang sederhana. Inilah tantangan sekaligus peluang Gerakan Pemuda Ansor (GPA) NU sebagai wadah sekaligus wasilah dalam merealisasikan gerakan pemuda yang sesuai dengan budaya dan tradisi nusantara dengan napas Islam Nusantara.

Mengingat terbatasnya upaya lembaga pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai moral pada peserta didiknya, maka lembaga selain lembaga pendidikan formal juga harus turut andil dalam menegakkan pola pendidikan moral. Organisasi sosial dan keagamaan seperti Gerakan Pemuda Ansor seharusnya tidak boleh diremehkan perannya dalam mendidik para generasi muda menjadi manusia yang bermoral tinggi.

Mobile_AP_Rectangle 2

Kegiatan pembelajaran di organisasi GPA tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan dan pelatihan ketrampilan tertentu, tetapi yang terpenting adalah juga penanaman dan pembentukan nilai-nilai tertentu kepada generasi muda sebagai anggotanya. Secara teoritis, GPA dalam wadah Rijalul Ansor mengkaji bagaimana menjaga gereja secara fikih adalah boleh bahkan bernilai ibadah. Landasannya adalah basis dari penjagaan agama atau yang dalam istilah maqasid syariah disebut hifz al-din. Menjaga
Agama bagi teman-teman Ansor tidak hanya dimaknai secara formalistik seperti mendirikan salat dan menunaikan zakat, lebih dari itu bahwa, meminjam istilah yang dipakai oleh Jasser Auda, menjaga agama Islam agar tidak difitnah dan dituduh sebagai agama teror dan makar adalah bagian dari menjaga agama (protection and prevention religion). Sejatinya yang dijaga oleh GPA bukanlah gerejanya melainkan keutuhannya.

Dalam bahasa KH. Achmad Shiddiq, Allah yarham, yang dijaga oleh GPA adalah saudara
setanah air (ukhwah wathoniyyah) dan saudara sesama makhluk Tuhan (ukhwah basyariyyah). Secara praktis, GPA dalam wadah Banser menjalankan apa yang sudah dimusyawarahkan dan dikaji dalam tubuh Rijalul Ansor. Artinya, apa yang dilakukan dalam tubuh GPA tidak grusa-grusu, ada kajiannya, ada rapatnya, ada epistemologinya dalam bahasa akademiknya. Hasilnya? Silakan lihat Google, tidak ada berita yang mengatakan GP Ansor sebagai banom yang makar dan teroris, justru sebaliknya, GP Ansor menjadi mitra TNI-Polri dalam pengawasan terhadap mereka yang akan mengancam keutuhan dan kedaulatan bangsa ini, baik secara fisik atau pemikiran. Belum lagi, GPA adalah Banom NU yang dekat dengan para alim-ulama di Nahdlatul Ulama. Keseketikaan GPA ini secara tidak langsung menjadi santri kalong dari banyak Kiai. Relasi santri-kiai seperti ini nampaknya mustahil jika para kader GPA akan bersikap amoral, sebab dalam hampir kesahariannya selalu berinteraksi dengan para kiai, selalu diawasi dan diberikan nasehat kiai. Baik nasehat langsung ataupun tidak langsung.

Sebentar lagi, NU akan memasuki usia seratus tahun. GPA sebagai anak remaja dari organisasi ini harus memberikan tawaran-tawaran program yang tidak hanya bermanfaat untuk organisasi, lebih luas GPA harus berkontribusi untuk Indonesia. Makanya saya mengusulkan GPA untuk memiliki program penguatan skill terhadap anggotanya. GPA juga harus mampu memadukan tradisi NU dengan gerak perkembangan zaman. GPA harus mau dan mampu serta independen dalam bermedia, sehingga dapat menjadi corong dalam mengekspresikan pendapat-pendapat politik kebangsaannya dan politik keagamaannya. Oleh karenanya, jika dikristalkan ada tiga hal yang perlu menjadi perhatian GPA. Pertama, kondisi bangsa yang sedang menghadapi kerasnya paham-paham radikal dan terorisme. Juga yang tidak kalah penting adalah laku koruptif.

Kedua, perubahan peradaban dunia di era revolusi 4.0 dan teknologi yang sudah masuk era revolusi 5.0 yang serba digital. Mau atau tidak, suka tidak suka para kader GPA harus mengambil bagian penting dalam transformasi era digital ini. Dan ketiga, kondisi pasca-pandemi
Covid-19 yang bukan hanya dihadapi Indonesia namun lebih dari 250 negara mengalami kesulitan yang luar biasa ini. Berbagai sektor kehidupan terdampak di antaranya sektor ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Dalam tubuh NU sudah ada lembaga-lembaga yang bertugas menangani tiga sektor tersebut, selanjutnya GPA harus membersamai dan menjadi motor pendorong dalam merealisasikan program-program induknya.

Penulis adalah Wakil Sekretaris GP Ansor dan Dosen UIN KHAS Jember.

 

- Advertisement -

Generasi muda adalah generasi penerus perjuangan bangsa, Sebagai pemegang kepemimpinan nasional, mereka harus menanamkan di dalamnya nilai-nilai budaya nasional yang benar, diterima, diikuti, dibela dan diperjuangkan. Generasi muda penerus bangsa juga memiliki keterampilan terpendam yang dapat diolah menjadi keterampilan nyata. Selain itu, mereka memiliki potensi kecerdasan intelektual, kecerdasan seni, emosional, sosial, dan bahasa, yang dapat mereka olah menjadi kecerdasan aktual yang
akan mengantarkan mereka pada pencapaian dan kesuksesan yang tinggi. Mereka memiliki potensi moral yang dapat diolah dan dikembangkan menjadi akhlak yang positif agar dapat berperan aktif dalam pembangunan negara dan bangsa yang jujur, tidak koruptif, kurang ajar, dan bertanggung jawab.
Melihat situasi saat ini, pemuda terpecah menjadi dua.

Pertama, pemuda yang bermoral namun tidak memiliki sosok panutan dan organisasi yang tepat sehingga dalam bergaul dan melangkah ia merasa paling benar atas dasar penafsiran tunggal. Biasanya secara sekilas ia tampak baik, berpakaian rapi, namun kerap kali melontarkan argumen dan pendapat yang terkesan Islami namun sejatinya sangat jauh dari nilai-nilai Islam. Misalnya mengatakan, “Indonesia ini tidak tepat jika menggunakan sistem demokrasi, sejarah Islam mencontohkan dengan sistem khilafah dan monarki”, atau “umat Islam kok menjaga gereja, mestinya masjid yang dijaga”. Kedua, pemuda yang amoral. Ada banyak penyimpangan moral di kalangan generasi muda seperti miras, tawuran pelajar dan seks bebas.
Masalah moral generasi muda telah menjadi masalah sosial yang belum sepenuhnya terselesaikan. Akibat yang ditimbulkan begitu serius sehingga tindakan tersebut telah mengarah pada tindakan kriminal dan tidak dapat lagi dianggap sebagai hal yang sederhana. Inilah tantangan sekaligus peluang Gerakan Pemuda Ansor (GPA) NU sebagai wadah sekaligus wasilah dalam merealisasikan gerakan pemuda yang sesuai dengan budaya dan tradisi nusantara dengan napas Islam Nusantara.

Mengingat terbatasnya upaya lembaga pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai moral pada peserta didiknya, maka lembaga selain lembaga pendidikan formal juga harus turut andil dalam menegakkan pola pendidikan moral. Organisasi sosial dan keagamaan seperti Gerakan Pemuda Ansor seharusnya tidak boleh diremehkan perannya dalam mendidik para generasi muda menjadi manusia yang bermoral tinggi.

Kegiatan pembelajaran di organisasi GPA tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan dan pelatihan ketrampilan tertentu, tetapi yang terpenting adalah juga penanaman dan pembentukan nilai-nilai tertentu kepada generasi muda sebagai anggotanya. Secara teoritis, GPA dalam wadah Rijalul Ansor mengkaji bagaimana menjaga gereja secara fikih adalah boleh bahkan bernilai ibadah. Landasannya adalah basis dari penjagaan agama atau yang dalam istilah maqasid syariah disebut hifz al-din. Menjaga
Agama bagi teman-teman Ansor tidak hanya dimaknai secara formalistik seperti mendirikan salat dan menunaikan zakat, lebih dari itu bahwa, meminjam istilah yang dipakai oleh Jasser Auda, menjaga agama Islam agar tidak difitnah dan dituduh sebagai agama teror dan makar adalah bagian dari menjaga agama (protection and prevention religion). Sejatinya yang dijaga oleh GPA bukanlah gerejanya melainkan keutuhannya.

Dalam bahasa KH. Achmad Shiddiq, Allah yarham, yang dijaga oleh GPA adalah saudara
setanah air (ukhwah wathoniyyah) dan saudara sesama makhluk Tuhan (ukhwah basyariyyah). Secara praktis, GPA dalam wadah Banser menjalankan apa yang sudah dimusyawarahkan dan dikaji dalam tubuh Rijalul Ansor. Artinya, apa yang dilakukan dalam tubuh GPA tidak grusa-grusu, ada kajiannya, ada rapatnya, ada epistemologinya dalam bahasa akademiknya. Hasilnya? Silakan lihat Google, tidak ada berita yang mengatakan GP Ansor sebagai banom yang makar dan teroris, justru sebaliknya, GP Ansor menjadi mitra TNI-Polri dalam pengawasan terhadap mereka yang akan mengancam keutuhan dan kedaulatan bangsa ini, baik secara fisik atau pemikiran. Belum lagi, GPA adalah Banom NU yang dekat dengan para alim-ulama di Nahdlatul Ulama. Keseketikaan GPA ini secara tidak langsung menjadi santri kalong dari banyak Kiai. Relasi santri-kiai seperti ini nampaknya mustahil jika para kader GPA akan bersikap amoral, sebab dalam hampir kesahariannya selalu berinteraksi dengan para kiai, selalu diawasi dan diberikan nasehat kiai. Baik nasehat langsung ataupun tidak langsung.

Sebentar lagi, NU akan memasuki usia seratus tahun. GPA sebagai anak remaja dari organisasi ini harus memberikan tawaran-tawaran program yang tidak hanya bermanfaat untuk organisasi, lebih luas GPA harus berkontribusi untuk Indonesia. Makanya saya mengusulkan GPA untuk memiliki program penguatan skill terhadap anggotanya. GPA juga harus mampu memadukan tradisi NU dengan gerak perkembangan zaman. GPA harus mau dan mampu serta independen dalam bermedia, sehingga dapat menjadi corong dalam mengekspresikan pendapat-pendapat politik kebangsaannya dan politik keagamaannya. Oleh karenanya, jika dikristalkan ada tiga hal yang perlu menjadi perhatian GPA. Pertama, kondisi bangsa yang sedang menghadapi kerasnya paham-paham radikal dan terorisme. Juga yang tidak kalah penting adalah laku koruptif.

Kedua, perubahan peradaban dunia di era revolusi 4.0 dan teknologi yang sudah masuk era revolusi 5.0 yang serba digital. Mau atau tidak, suka tidak suka para kader GPA harus mengambil bagian penting dalam transformasi era digital ini. Dan ketiga, kondisi pasca-pandemi
Covid-19 yang bukan hanya dihadapi Indonesia namun lebih dari 250 negara mengalami kesulitan yang luar biasa ini. Berbagai sektor kehidupan terdampak di antaranya sektor ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Dalam tubuh NU sudah ada lembaga-lembaga yang bertugas menangani tiga sektor tersebut, selanjutnya GPA harus membersamai dan menjadi motor pendorong dalam merealisasikan program-program induknya.

Penulis adalah Wakil Sekretaris GP Ansor dan Dosen UIN KHAS Jember.

 

Generasi muda adalah generasi penerus perjuangan bangsa, Sebagai pemegang kepemimpinan nasional, mereka harus menanamkan di dalamnya nilai-nilai budaya nasional yang benar, diterima, diikuti, dibela dan diperjuangkan. Generasi muda penerus bangsa juga memiliki keterampilan terpendam yang dapat diolah menjadi keterampilan nyata. Selain itu, mereka memiliki potensi kecerdasan intelektual, kecerdasan seni, emosional, sosial, dan bahasa, yang dapat mereka olah menjadi kecerdasan aktual yang
akan mengantarkan mereka pada pencapaian dan kesuksesan yang tinggi. Mereka memiliki potensi moral yang dapat diolah dan dikembangkan menjadi akhlak yang positif agar dapat berperan aktif dalam pembangunan negara dan bangsa yang jujur, tidak koruptif, kurang ajar, dan bertanggung jawab.
Melihat situasi saat ini, pemuda terpecah menjadi dua.

Pertama, pemuda yang bermoral namun tidak memiliki sosok panutan dan organisasi yang tepat sehingga dalam bergaul dan melangkah ia merasa paling benar atas dasar penafsiran tunggal. Biasanya secara sekilas ia tampak baik, berpakaian rapi, namun kerap kali melontarkan argumen dan pendapat yang terkesan Islami namun sejatinya sangat jauh dari nilai-nilai Islam. Misalnya mengatakan, “Indonesia ini tidak tepat jika menggunakan sistem demokrasi, sejarah Islam mencontohkan dengan sistem khilafah dan monarki”, atau “umat Islam kok menjaga gereja, mestinya masjid yang dijaga”. Kedua, pemuda yang amoral. Ada banyak penyimpangan moral di kalangan generasi muda seperti miras, tawuran pelajar dan seks bebas.
Masalah moral generasi muda telah menjadi masalah sosial yang belum sepenuhnya terselesaikan. Akibat yang ditimbulkan begitu serius sehingga tindakan tersebut telah mengarah pada tindakan kriminal dan tidak dapat lagi dianggap sebagai hal yang sederhana. Inilah tantangan sekaligus peluang Gerakan Pemuda Ansor (GPA) NU sebagai wadah sekaligus wasilah dalam merealisasikan gerakan pemuda yang sesuai dengan budaya dan tradisi nusantara dengan napas Islam Nusantara.

Mengingat terbatasnya upaya lembaga pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai moral pada peserta didiknya, maka lembaga selain lembaga pendidikan formal juga harus turut andil dalam menegakkan pola pendidikan moral. Organisasi sosial dan keagamaan seperti Gerakan Pemuda Ansor seharusnya tidak boleh diremehkan perannya dalam mendidik para generasi muda menjadi manusia yang bermoral tinggi.

Kegiatan pembelajaran di organisasi GPA tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan dan pelatihan ketrampilan tertentu, tetapi yang terpenting adalah juga penanaman dan pembentukan nilai-nilai tertentu kepada generasi muda sebagai anggotanya. Secara teoritis, GPA dalam wadah Rijalul Ansor mengkaji bagaimana menjaga gereja secara fikih adalah boleh bahkan bernilai ibadah. Landasannya adalah basis dari penjagaan agama atau yang dalam istilah maqasid syariah disebut hifz al-din. Menjaga
Agama bagi teman-teman Ansor tidak hanya dimaknai secara formalistik seperti mendirikan salat dan menunaikan zakat, lebih dari itu bahwa, meminjam istilah yang dipakai oleh Jasser Auda, menjaga agama Islam agar tidak difitnah dan dituduh sebagai agama teror dan makar adalah bagian dari menjaga agama (protection and prevention religion). Sejatinya yang dijaga oleh GPA bukanlah gerejanya melainkan keutuhannya.

Dalam bahasa KH. Achmad Shiddiq, Allah yarham, yang dijaga oleh GPA adalah saudara
setanah air (ukhwah wathoniyyah) dan saudara sesama makhluk Tuhan (ukhwah basyariyyah). Secara praktis, GPA dalam wadah Banser menjalankan apa yang sudah dimusyawarahkan dan dikaji dalam tubuh Rijalul Ansor. Artinya, apa yang dilakukan dalam tubuh GPA tidak grusa-grusu, ada kajiannya, ada rapatnya, ada epistemologinya dalam bahasa akademiknya. Hasilnya? Silakan lihat Google, tidak ada berita yang mengatakan GP Ansor sebagai banom yang makar dan teroris, justru sebaliknya, GP Ansor menjadi mitra TNI-Polri dalam pengawasan terhadap mereka yang akan mengancam keutuhan dan kedaulatan bangsa ini, baik secara fisik atau pemikiran. Belum lagi, GPA adalah Banom NU yang dekat dengan para alim-ulama di Nahdlatul Ulama. Keseketikaan GPA ini secara tidak langsung menjadi santri kalong dari banyak Kiai. Relasi santri-kiai seperti ini nampaknya mustahil jika para kader GPA akan bersikap amoral, sebab dalam hampir kesahariannya selalu berinteraksi dengan para kiai, selalu diawasi dan diberikan nasehat kiai. Baik nasehat langsung ataupun tidak langsung.

Sebentar lagi, NU akan memasuki usia seratus tahun. GPA sebagai anak remaja dari organisasi ini harus memberikan tawaran-tawaran program yang tidak hanya bermanfaat untuk organisasi, lebih luas GPA harus berkontribusi untuk Indonesia. Makanya saya mengusulkan GPA untuk memiliki program penguatan skill terhadap anggotanya. GPA juga harus mampu memadukan tradisi NU dengan gerak perkembangan zaman. GPA harus mau dan mampu serta independen dalam bermedia, sehingga dapat menjadi corong dalam mengekspresikan pendapat-pendapat politik kebangsaannya dan politik keagamaannya. Oleh karenanya, jika dikristalkan ada tiga hal yang perlu menjadi perhatian GPA. Pertama, kondisi bangsa yang sedang menghadapi kerasnya paham-paham radikal dan terorisme. Juga yang tidak kalah penting adalah laku koruptif.

Kedua, perubahan peradaban dunia di era revolusi 4.0 dan teknologi yang sudah masuk era revolusi 5.0 yang serba digital. Mau atau tidak, suka tidak suka para kader GPA harus mengambil bagian penting dalam transformasi era digital ini. Dan ketiga, kondisi pasca-pandemi
Covid-19 yang bukan hanya dihadapi Indonesia namun lebih dari 250 negara mengalami kesulitan yang luar biasa ini. Berbagai sektor kehidupan terdampak di antaranya sektor ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Dalam tubuh NU sudah ada lembaga-lembaga yang bertugas menangani tiga sektor tersebut, selanjutnya GPA harus membersamai dan menjadi motor pendorong dalam merealisasikan program-program induknya.

Penulis adalah Wakil Sekretaris GP Ansor dan Dosen UIN KHAS Jember.

 

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca

/