Menguji Kembali Keakuratan Metode Ijtihad Sahabat

Faiz, Muhammad Fauzinudin, ed. (2020) Menguji Kembali Keakuratan Metode Ijtihad Sahabat. Penerbit Pustaka Ilmu, Yogyakarta. ISBN 978-623-7066-62-0

[img] Text
Ijtihad Sahabat.pdf

Download (2MB)

Abstract

Ikhtilaf atau perbedaan pandangan di kalangan sahabat adalah prosedur penetapan hukum yang terjadi untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah saw. Sementara itu, setelah Rasulullah wafat, putuslah ketetapan yang berasal dari beliau. Di sisi lain muncul masalah baru yang secara spesifik belum memiliki ketetapan secara syar’i. Menghadapi masalah-masalah baru itu, muncul dua pandangan.
Kelompok pertama memandang bahwa otoritas untuk menetapkan hukum-hukum Tuhan dan menjelaskan makna al-Quran setelah Rasulullah wafat dipegang Ahl al- Bait. Hanya merekalah, “menurut nash dari Rasul”, yang harus dirujuk untuk menyelesaikan masalah-masalah dan menetapkan hukum-hukum Allah. Kelompok ini tidak mengalami kesulitan dalam masa berhentinya wahyu, karena mereka tahu betul tugas mereka adalah mengacu pada persoalan ke-ma’shum-an.
Kelompok kedua memandang tidak ada orang tertentu yang ditunjuk rasul untuk menafsirkan dan menetapkan perintah Ilahi. al-Quran dan al-Sunnah adalah sumber untuk menarik hukum-hukum berkenaan dengan masalah-masalah yang timbul di masyarakat. Kelompok ini kelak disebut Ahl al-Sunnah. Kenyataan tidak mudah mengambil hukum dari nash, karena banyak hal tak terjawab oleh nash. Kelompok ini kemudian menggunakan metode-metode ijtidah seperti qiyas atau istihsan.
Semua Khalifah al-Rasyidin termasuk kelompok kedua, kecuali Ali bin Abi Thalib . Kelompok kedua lebih banyak menggunakan ra’yu, dan kelompok pertama lebih banyak merujuk nash. Kelompok kedua banyak menggunakan dalil aqly, kelompok pertama dalil naqli. Atau dengan kalimat yang lebih sederhana, kelompok pertama menjadikan akal sebagai konfirmasi, sedangkan kelompok kedua menjadikan nash sebagai konfirmasi.
Selain masalah baru dalam konteks syar’i, terdapat pula masalah yang menurut beberapa ahli telah memiliki ketetapan. Ketika telah memiliki ketetapan, tetap saja terjadi perbedaan dalam beberapa kasus. Hal tersebut merupakan hal yang sifatnya “kontroversial”. Contoh kasus Amirul Mukminin, sayyidina Umar, Misalnya. Beliau pernah melarang haji tamattu’, padahal al-Quran dan al-Sunnah sangat tegas menetapkannya. Ketika sayyidina Usman bin Affan juga melarangnya, Ali bin Abi Thalib -karamallah wajahah, secara demonstratif melakukannya di depan sayyidina Usman bin Affan. Kata sayyidina Utsman: “Aku melarang manusia melakukan tamattu, dan engkau sendiri melakukannya”. sayyidina Ali bin Abi Thalib menjawab: Aku tak akan meninggalkan sunnah Rasulullah saw hanya karena pendapat seseorang. Setelah perdebatan ini, menurut riwayat lain dari Abdullah bin Zubair, Usman bin Affan berkata: Sesungguhnya laranganku itu hanya ra’yu-ku saja. Siapa yang mau boleh menjalankannya; siapa yang tak mau boleh meninggalkannya.
Kasus di atas adalah satu dari beberapa gambaran bahwa di kalangan Sahabat pernah terjadi apa yang disebut dengan dialektika pemikiran. Tampaknya, dari kejadian itu ada banyak maghza yang bisa dipetik dari sudut pandang beberapa keilmuan ; Filsafat Hukum Islam, Sosio-antropologi hingga pada studi hadis (periwayatan, kandungan hingga sanad). Nah, disiplin ilmu terakhir ini yang dicoba untuk dilacak oleh penulis dalam buku ini. Selamat membaca para pembaca budiman.....!

Item Type: Book
Subjects: 18 LAW AND LEGAL STUDIES > 1801 Law > 180122 Legal Theory, Jurisprudence and Legal Interpretation
Depositing User: Muhammad Fauzinudin Faiz
Date Deposited: 03 May 2023 04:39
Last Modified: 03 May 2023 04:39
URI: http://digilib.uinkhas.ac.id/id/eprint/22916

Actions (login required)

View Item View Item