Tahun lalu di pertengahan 2023, saya menawarkan sebuah konsep ekonomi Islam baru yang disebut Iqtishadiyyah Az-Zakiyah Ath-Thohiroh (selanjutnya disingkat Iqzath), yang menggabungkan nilai-nilai spiritual dan etika dalam seluruh aspek ekonomi. Dalam pemahaman saya, ekonomi tidak hanya tentang angka, transaksi, dan aset, tetapi juga tentang kebersihan hati dan kesucian diri. Konsep ini menggabungkan prinsip-prinsip Islam dengan praktik ekonomi dan berupaya menciptakan sistem ekonomi yang adil dan berkelanjutan.
Tulisan pertama, saya landingkan ke media TimesIndonesia dengan judul, “Formulasi Fikih Ekonomi Berbasis SDGs : Konsep Iqzath dan Potensinya untuk Pembangunan Berkelanjutan” yang dibaca oleh lebih dari 250 ribu orang. Karena merasa disambut dengan baik, lalu saya menuliskan konsep keberlanjutan di NU Online dengan judul, “Relevansi Konsep Iqzath dalam Bisnis Online” dan di astranawa dengan judul, “Membumikan Konsep Iqzath untuk Mewujudkan Maqashid Syariah dan SDGs”.
Selang beberapa minggu ternyata ada feedback dan respons atas konsep Iqzath dari Pakar Ekonomi Islam bernama Dr. Nikmatul Masruroh. Doktor jebolan Universitas Jember ini tampaknya memberikan syarah yang cukup memukau dari konsep Iqzath-nya saya. Itu terlihat dari topik artikelnya di media nasional yang berjudul, “Melihat Konsep Iqzath dari Perspektif Outsider: Dari Apresiasi ke Tawaran Solusi”. Seperti sebutan awal saya tadi, yaitu “syarah”, oleh beliau konsep iqzath justru diaplikasikan dalam konteks ekonomi Islam dan etika bisnis yang lebih detail. Namanya saja syarah (explanation), bukan naqad (scrutinizing), oleh karenanya dalam artikel karya Koordinator Program Studi Ekonomi Syariah Pascasarjana UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember tersebut tidak ada kritik, yang sebetulnya saya harapkan untuk pengembangan konsep iqzath ini.
Selanjutnya tulisan yang ditulis oleh (tampaknya) seorang mahasiswi, tulisannya juga bisa disebut sebagai “hasyiyah” yaitu komentar atas syarah dari konsep iqzath saya. Namun dalam tulisan itu, ia menambahkan dengan pengimplementasian konsep Iqzath untuk Keberlanjutan UMKM di Indonesia. Secara fair tulisan tersebut bagus, setidaknya untuk standar mahasiswa umumnya.
Untuk merefresh pembaca artikel ini, saya coba ulas secara singkat apa itu konsep Iqzath(?). Pertama, Konsep Iqzath ini saya sandarkan pada QS at-Taubah 103 sebagai legitimasinya yang pemahaman awalnya menekankan pentingnya zakat sebagai penyuci harta dan jiwa. Ayat ini, meskipun awalnya berbicara tentang zakat, saya perluas menjadi konteks ekonomi yang lebih dinamis dan luwes. Kedua, dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, kita bisa menciptakan harmoni antara dimensi spiritual dan sosio-material dalam kehidupan ekonomi kita.
Dalam Iqzath, saya menekankan beberapa prinsip inti. Pertama, Nazahah (fairness and integrity), yang harus menjadi dasar setiap transaksi ekonomi. Kejujuran dan integritas dalam berbisnis adalah fondasi untuk membangun kepercayaan dalam masyarakat, dan praktik-praktik tidak jujur seperti penipuan harus dihindari.
Kedua, Syaffafah (Transparency and Accountability), dalam proses ekonomi sangat penting untuk memastikan bahwa semua pihak memiliki akses ke informasi yang relevan dan akurat. Ini mencakup kejelasan dalam laporan keuangan, kebijakan, dan operasi. Transparansi membantu membangun kepercayaan antar pelaku ekonomi dan mengurangi kemungkinan korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Selain itu, Akuntabilitas mengharuskan individu atau organisasi bertanggung jawab atas tindakan dan keputusan mereka. Dalam konteks ekonomi, ini berarti bahwa perusahaan dan pejabat pemerintah harus dapat diawasi dan diperiksa, sehingga memastikan mereka bertindak demi kepentingan umum. Ketiga, Istidamah (Sustainability), Mengintegrasikan prinsip keberlanjutan ke dalam praktik bisnis dan kebijakan ekonomi memastikan bahwa sumber daya digunakan dengan cara yang meminimalkan dampak buruk terhadap lingkungan dan masyarakat, serta memastikan ketersediaannya untuk generasi mendatang.
Berbeda dari konsep ekonomi Islam umum yang hanya berfokus pada prinsip moral dan etika, Iqzath mendorong kesucian hati dan kebersihan diri sebagai inti dari seluruh aktivitas ekonomi. Saya percaya bahwa ekonomi yang berkelanjutan dan adil harus dimulai dari dalam, dengan menjaga integritas pribadi dalam transaksi bisnis dan pengelolaan kekayaan. Tujuan saya adalah menyatukan prinsip-prinsip ekonomi Islam dengan nilai-nilai spiritual, menciptakan sistem ekonomi yang mempromosikan kejujuran, ketertiban, dan kepedulian sosial. Lalu bagaimana konsep saya dibaca melalui pendekatan filsafat secara aksiologis, ontologis dan epistimologis? Berikut saya paparkan secara sekilas.
Aksiologis Iqzath
Aksiologis berasal dari kata "aksiologi," yang merupakan cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai-nilai dan moral ethics. Dalam konteks ini aksiologi berfokus pada nilai-nilai yang terkandung dalam konsep Iqzath. Konsep ini, bersumber dari QS at-Taubah 103, menekankan kejujuran, keadilan, dan kepedulian sosial melalui zakat dan infak. Nilai-nilai tersebut bertujuan menciptakan harmoni antara dimensi spiritual dan materi dalam kehidupan ekonomi, memperbaiki kesejahteraan sosial, dan mengurangi ketimpangan ekonomi. Iqzath mengintegrasikan prinsip-prinsip ekonomi Islam dengan nilai-nilai spiritual untuk membangun ekonomi yang adil dan berkelanjutan.
Dalam konteks aksiologi, pengembangan Iqzath dapat dikonkretkan melalui penerapan nilai-nilai ini dalam kebijakan ekonomi dan praktik bisnis. Misalnya, dalam lingkungan bisnis, kejujuran menjadi fondasi utama. Setiap transaksi harus transparan dan bebas dari penipuan, yang akan membangun kepercayaan dan integritas dalam masyarakat. Praktik-praktik seperti penghindaran riba dan pemborosan memastikan bahwa kegiatan ekonomi tidak hanya menguntungkan secara materi tetapi juga memberkati secara spiritual.
Sebagai contoh filosofis yang konkret, mari kita ambil praktik zakat dan infak dalam komunitas bisnis. Bayangkan sebuah perusahaan besar yang mengalokasikan sebagian dari keuntungannya untuk program zakat yang transparan dan terstruktur. Dana ini digunakan untuk membantu masyarakat miskin, menyediakan pendidikan, dan meningkatkan layanan kesehatan. Selain meningkatkan kesejahteraan sosial, tindakan ini juga menanamkan nilai-nilai keadilan dan kepedulian sosial dalam budaya perusahaan, yang pada akhirnya memperkuat kepercayaan publik terhadap perusahaan tersebut.
Contoh lainnya adalah penerapan prinsip kejujuran dalam semua aspek bisnis. Dalam proses produksi, distribusi, dan pemasaran, kejujuran harus dijaga. Produk yang dijual harus sesuai dengan deskripsi dan kualitas yang dijanjikan. Dalam pemasaran, iklan harus jujur dan tidak menyesatkan konsumen. Ini tidak hanya mencegah praktik bisnis yang tidak etis tetapi juga membangun reputasi jangka panjang yang solid.
Dengan demikian, konsep Iqzath, melalui nilai-nilai aksiologinya, menawarkan panduan praktis untuk menciptakan ekonomi yang lebih adil, berkelanjutan, dan berorientasi pada kesejahteraan sosial. Implementasi nilai-nilai ini tidak hanya berkontribusi pada pembangunan ekonomi tetapi juga mempromosikan harmoni sosial dan spiritual dalam masyarakat.
Ontologis Iqzath
Ontologi mengkaji keberadaan dan esensi dari konsep Iqzath. Secara ontologis, Iqzath bukan hanya konsep teoretis, tetapi sebuah realitas ekonomi yang menggabungkan dimensi spiritual dan material. Esensi Iqzath terletak pada integrasi nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan kepedulian sosial dalam aktivitas ekonomi. Konsep ini menekankan bahwa setiap aktivitas ekonomi memiliki dimensi spiritual yang penting, di mana tindakan ekonomi harus dilandasi oleh niat yang suci dan praktik yang etis.
Bayangkan sebuah komunitas yang menjalankan koperasi berbasis prinsip Iqzath. Dalam koperasi ini, setiap anggota berpartisipasi dengan kejujuran dan transparansi penuh. Keuntungan yang diperoleh tidak hanya didistribusikan secara adil di antara anggota, tetapi juga sebagian disisihkan untuk kegiatan sosial seperti bantuan bagi yang membutuhkan dan program pendidikan. Keberadaan koperasi ini menggambarkan realitas di mana dimensi material dan spiritual dari ekonomi bersatu, menciptakan lingkungan yang mendukung kesejahteraan bersama dan harmoni sosial.
Di tingkat individu, seorang pengusaha yang menerapkan konsep Iqzath akan memastikan bahwa semua praktik bisnisnya, mulai dari produksi hingga penjualan, dilakukan dengan integritas dan etika tinggi. Misalnya, dia akan memastikan bahwa bahan baku diperoleh secara adil tanpa eksploitasi, produk yang dijual sesuai dengan deskripsi sebenarnya, dan harga yang ditetapkan mencerminkan keadilan. Selain itu, sebagian dari keuntungannya akan digunakan untuk amal, membantu mengurangi kesenjangan sosial dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pada akhirnya, konsep Iqzath menunjukkan bahwa ekonomi tidak hanya tentang akumulasi kekayaan, tetapi juga tentang bagaimana kekayaan tersebut diperoleh, dikelola, dan didistribusikan dengan cara yang mempromosikan nilai-nilai spiritual dan etis.
Epistemologi Iqzath
Istilah ini berasal dari kata Yunani "episteme" yang berarti pengetahuan, dan "logos" yang berarti studi atau teori. Epistemologi berfokus pada berbagai aspek yang berkaitan dengan pengetahuan. Epistemologi mempelajari bagaimana kita mengetahui dan memahami konsep Iqzath. Pengetahuan tentang Iqzath diperoleh melalui teks-teks agama Islam, khususnya Al-Qur'an dan Hadis, serta interpretasi oleh ulama dan cendekiawan Islam. Epistemologi Iqzath melibatkan pemahaman mendalam tentang prinsip-prinsip ekonomi Islam yang diintegrasikan dengan nilai-nilai spiritual untuk membentuk sistem ekonomi yang etis dan berkelanjutan. Konsep ini mengedepankan bahwa aktivitas ekonomi harus dilandasi oleh niat suci dan praktik yang etis, yang dapat dipelajari dan diterapkan melalui pendidikan agama dan pengalaman praktis dalam masyarakat.
Mari kita lihat bagaimana pelatihan dan pendidikan memainkan peran penting dalam menyebarkan konsep Iqzath. Di institusi pendidikan Islam, kurikulum dapat mencakup studi mendalam tentang ayat-ayat Al-Qur'an yang mendasari konsep Iqzath, seperti QS at-Taubah 103, dan bagaimana prinsip-prinsip ini dapat diterapkan dalam kehidupan ekonomi sehari-hari. Pelatihan ini tidak hanya teoretis tetapi juga praktis, dengan mengajarkan siswa cara mengelola keuangan secara etis, mendistribusikan zakat dan infak, serta menghindari praktik-praktik bisnis yang tidak etis seperti riba dan pemborosan.
Dalam praktik komunitas, seorang pemimpin agama atau ulama dapat memberikan ceramah dan bimbingan tentang pentingnya menerapkan prinsip Iqzath dalam aktivitas ekonomi. Melalui dakwah dan diskusi komunitas, anggota masyarakat diajarkan untuk memahami dan mengaplikasikan nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan kepedulian sosial dalam transaksi mereka. Misalnya, sebuah masjid dapat mengadakan program pelatihan untuk pengusaha lokal tentang bagaimana menjalankan bisnis yang beretika dan bermanfaat bagi masyarakat, berdasarkan prinsip-prinsip Iqzath.
Dengan demikian, epistemologi Iqzath melibatkan proses pendidikan, baik formal maupun informal, untuk menginternalisasi nilai-nilai yang mendasari konsep ini. Pengetahuan tentang Iqzath bukan hanya diperoleh melalui pembelajaran teoretis tetapi juga melalui penerapan praktis dalam kehidupan sehari-hari, sehingga menciptakan masyarakat yang lebih adil, transparan dan berkelanjutan.
Muhammad Fauzinudin Faiz (Dosen Fiqh dan Ushul Fiqh FEBI UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember & Pimpinan Pusat GP ANSOR Bidang Hubungan dan Jaringan Internasional)