Artikel

Membumikan Konsep Iqzath untuk Mewujudkan Maqashid Syariah dan SDGs

Pembahasan maqashid syariah hari ini bukan hanya menjadi tema di Pesantren-Pesantren atau di sekolah-sekolah Islam, tetapi di berbagai ruang hari ini membicarakan konsep maqashid syariah sebagai tujuan bersama yang harus dicapai. Sebagaimana 8th Gadjah Mada International Conference  on Islamic yang diselenggarakan pada tanggal 29 September 2023 mengangkat tema “Islamic Finance and Sustainability: Exploring Synergies and Innovations in Accounting, Business and Economics” menghadirkan dua pakar ekonomi syariah, yaitu Prof. Habib Ahmad, seorang Profesor hukum dan keuangan Islam dari Universitas Durham dan Dr. Imam Teguh Saptono, seorang Deputi excekutif Bank Wakaf Indonesia. Kedua tokoh ini secara bergantian memaparkan tentang “Islamic Finance and Sustainability: Synergies and Innovation” dan “Enhancing Waqf Sustainability: Innovative Approaches, Strategies, Future, Trends and Prospects”.

Ruang yang selama ini terkenal kokoh dengan ilmu ekonomi yang modern justru memberikan ruang untuk berusaha membumikan konsep-konsep maqashid syariah dalam kehidupan sehari-hari yang dihubungkan dengan isu global. Hal tersebut membuktikan bahwa hari ini kegelisahan terhadap ekonomi kapitalis semakin mencuat. Melalui maqashid syariah masyarakat berharap bisa terlindungi dari sisi kerusakan dunia yang hari ini banyak diakibatkan oleh ulah manusia sendiri. Misalnya climate exchange, sampah berlebihan, emisi karbon berlebihan, perdagangan online dan kasus-kasus lain. Menurut Prof. Habib Ahmad dari Durham University, maqashid syariah dan SDGs harus dielaborasikan  menjadi Islamic Development Goals, yaitu menselaraskan antara tujuan maqashid syariah dengan tujuan dari SDGs yang dicanangkan 2030 harus tercapai. Keselarasan tersebut bisa dilihat dari semangatnya dalam melindungi manusia dan bumi dari kerusakan.

Pencapaian tujuan maqashid syariah dan SDGs tentu saja tidak bisa serta merta terwujud, tanpa adanya pemaknaan Iqzath sebagai alat untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Maqashid Syariah memiliki 5 tujuan pokok perlindungan, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta, sedangkan SDGs merupakan model Pembangunan berkelanjutan dengan 17 tujuan pokok menempatkan peniadaan kemiskinan dan peniadaan kelaparan sebagai tujuan utama memiliki keselarasan tujuan yang seharusnya dicapai dalam proses pembangunan modern. Pencapaian ini bisa dilakukan dengan membumikan konsep Iqzath dalam kegiatan sehari-hari, sebagai basis dalam Pembangunan berkelanjutan.

Iqzath yang pernah ditawarkan oleh Muhammad Fauzinuddin Faiz dalam artikenya yang berjudul “Formulasi Fikih Ekonomi Berbasis SDGs : Konsep Iqzath dan Potensinya untuk Pembangunan Berkelanjutan” (Kopi Times, 10 September 2023), perlu diturunkan menjadi perilaku riil dalam bisnis yang dijalankan sehari-hari. Sehingga makna Iqzath tidak hanya dimaknai pensucian hati dan kebersihan diri dalam kegiatan ekonomi, namun juga diimplementasikan dalam perilaku sehari-hari.

Dalam mewujudkan maqashid syariah dan SDGs, Iqzath bisa dimaknai pertama; transparansi dan akuntabel, artinya untuk menjaga agar sirkulasi kehidupan berjalan dan pemerataan distribusi pendapatan. Maka setiap orang harus memiliki sikap yang transparan artinya jujur dan terbuka, sedangkan akuntabel merupakan perilaku yang bisa dipertanggung jawabkan, bukan perilaku tidak terarah atau tidak terkontrol. Kedua,  Iqzath dimaknai juga dengan integritas, yaitu memiliki kedisiplinan dan komitmen untuk mewujudkan halal life style dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga dalam implementasi konsep iqzath tidak hanya pensucian pada pelaku ekonomi tetapi juga pada pendapatan, dalam hal ini ada implementasi konsep zakat, sebagai bentuk distribusi pendapatan kepada orang yang berhak. Keempat, Iqzath juga bisa dimaknai dengan tidak melakukan MAGHRIB (maysir, gharar dan riba)dalam proses pembangunan. Konsep ini juga bisa sangat memungkinkan untuk dikembangkan sebagai salah satu cara untuk mencapai tujuan maqashid syariah dan SDGs.

Melalui transparansi dan akuntabel proses pembangunan akan berjalan secara berkelanjutan, karena transparansi bisa menciptakan lingkungan yang saling terbuka, saling jujur sehingga tidak ada proses pembangunan yang cacat. Misalnya dalam perdagangan, akhir-akhir ini ramai tentang penutupan tik tok live shop. Jika transparansi diterapkan sejak awal, maka peristiwa penutupan sepihak ini tidak akan terjadi, sebab dalam proses transparansi ada komunikasi  yang intensif sehingga tidak ada kedzaliman dalam proses jual beli.  Selanjutnya, akuntabel juga menciptakan pribadi yang bisa bertanggung jawab dalam mewujudkan maqashid syariah dan SDGs. Artinya, menjadi pribadi yang taat pada aturan agama dan negara, sehingga keharmonisan Pembangunan bisa tercapai.

Integritas juga menjadi bentuk Iqzath untuk mewujudkan kehidupan yang berkelanjutan. Wujudnya berupa komitmen untuk selalu memprioritaskan kehalalan, kesehatan dan kebersihan lingkungan serta keseimbangan alam. Komitmen ini diperkuat dengan distribusi zakat untuk pemenuhan hifdz ad din, hifdz an nafs dan hifdz al mal serta untuk mewujudkan zero hunger and zero poverty. Melalui zakat akan ada distribusi pendapatan dari surplus consumer kepada deficit consumer, sehingga kelaparan dan kemiskinan tidak dirasakan lagi oleh deficit consumer. Terakhir, larangan MAGHRIB dalam setiap transaksi, karena transaksi menunjang dalam keberlanjutan pembangunan. Maysir merupakan transaksi yang penuh spekulasi, dengan menentukan pemenang dalam transaksinya, misalnya judi.  Sedangkan  gharar yaitu ketidakpastian dalam transaksi jual beli serta riba pengambilan tambahan dari pokok hutang piutang. Pelarangan MAGHRIB ini dalam rangka mewujudkan kegiatan produksi dan konsumsi yang bisa dipertanggungjawabkan dan juga selaras dengan hifdz an nafs dan hifdz al mal.

Berdasarkan penjelasan di atas, nilai-nilai yang berasal dari Iqzath lebih mudah diimplementasikan. Sehingga harapannya maqashid syariah yang hari ini sudah menjadi wacana global, bisa dicapai dengan nilai Iqzath ini. Lebih-lebih lagi SDGs yang harus dicapai secara bertahap. Semoga nilai-nilai ini bisa dibumikan, sehingga tidak terasa melangit, namun bisa diaplikasin di bumi sebagai sarana untuk mewujudkan perdamaian di dunia. Wallahua’lam.

Oleh : Dr. Nikmatul Masruroh, S.H.I., M.E.I. (Ketua Jurusan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *