Rahman, Fathor PENENTUAN AWAL BULAN UNTUK IBADAH (Sebuah Pendekatan Terpadu). IAIN Jember. (Unpublished)
Text
NASKAH DISKUSI PERIODIK FATHOR RAHMAN.pdf Download (643kB) |
|
Text
Sertifikat Diskusi Periodik 2021.pdf Download (1MB) |
Abstract
Tulisan ini berpretensi untuk menyajikan data-data mengenai formula penentuan
awal bulan untuk ibadah pada masa Rasulullah saw. ini penting karena penentuan
awal bulan di kalangan umat Islam selalu menjadi polemik, bahkan umat Islam
hingga saat ini masih belum memiliki kalender pasti dan unikatif untuk dijadikan
pedoman bersama. Ini tidak lepas dari problem perbedaan pemahaman terhadap
teks-teks keagamaan dan metode ijtihad umat Islam.
Untuk itu, kajian ini menggunakan pendekatan yang terpadu dalam mengurai
problem perbedaan pemahaman dalam penentuan awal bulan untuk ibadah. Metode
yang digunakan adalah metode yang diperkenalkan Louay Safi “Unified Aproach
to Shari’ah Inference”; yakni inferensi normatif tekstualis, inferensi empirishistoris-kontekstualis, dan inferensi terpadu.
Hasilnya adalah sebagai berikut: dalam inferensi telstualis-normatif-legis, perintah
puasa secara jelas juga diberikan informasi mengenai tata caranya yaitu rukyatul
hilal, dan jika mendung atau tertutup kabut, maka diperintahkan untuk melakukan
penghitungan, perkiraan, atau penggenapan bulan menjadi 30 hari; ayat-ayat yang
terkait dengan hilal beserta tafsirnya menyimpulkan bahwa hilal adalah tampaknya
bulan sabit yang dilihat oleh seseorang kemudian disiarkan oleh orang tersebut
kepada orang lain; dan kaidah hukum dalam persoalan ibadah mahdah seperti puasa
tidak bisa diubah, ia bersifat ta’abbudiy, kalimat yang sudah nash dan sharih tidak
bersifat ijtihadi; dan segala hal yang membuat kontroversi di tengah-tengah
masyarakat bisa dihapuskan oleh pemerintah atau penguasa; dalam inferensi
historis-empiris kontekstualis dapat diungkapkan bahwa ibadah yang menyertakan
keharusan rukyat telah mendorong umat Islam untuk belajar dan mendalami ilmu
astronomi sehingga mendorong peradaban keilmuan gemilang umat Islam; dan
dalam inferensi terpadu, penghitungan hisab pada masa nabi dengan penggenapan
menjadi tiga puluh hari hal itu disebabkan determinasi sejarah orang madinah pada
saat itu yang masih belum memiliki zij atau tabel astronomi yang menunjukkan
posisi bulan, bumi, dan matahari. Sedangkan saat ini, dinamika pengembangan
astronomi Islam khususnya ilmun hisab sudah sangat maju dan dapat
mengidentifikasi dan memprediksi posisi benda benda langit dengan sangat detil.
Sebab itu, determinasi sejarah pada masa nabi tidak ditemukan pada saat ini.
Sehingga, dengan menggunakan hisab, bisa jadi jumlah bulan berjalan tidak genap
30 hari. Dengan begitu, penentuan awal bulan dapat dilakukan dengan baik,
realistis, memiliki landasan nash, teori hukum Islam, astronomi, dan sejarah. Jadi,
penetapan awal bulan dilakukan dengan seksama dan dari waktu ke waktu terus
dilakukan perbaikan yang tanpa henti
Item Type: | Book |
---|---|
Subjects: | 13 EDUCATION > 1399 Other Education > 139999 Education not elsewhere classified |
Depositing User: | Bhakti Priawan |
Date Deposited: | 14 Apr 2021 07:04 |
Last Modified: | 14 Apr 2021 07:04 |
URI: | http://digilib.uinkhas.ac.id/id/eprint/1819 |
Actions (login required)
View Item |